Pada zaman dahulu kala, di Negeri India hidup seorang raja yang sangat menyukai permainan catur.
Sang raja sering mengadakan turnamen pertandingan catur yang diikuti oleh ratusan peserta, di mana pemenang turnamen kemudian bisa bertanding catur langsung dengan sang raja.
Dan jika ia bisa mengalahkan sang raja, maka ia akan memperoleh hadiah emas permata. Namun setelah bertahun-tahun, tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan sang raja dalam pertandingan catur.
Hingga suatu hari, raja mendengar bahwa ada seorang petapa yang sangat bijaksana yang tinggal di suatu desa, yang sangat hebat dalam bermain catur namun tidak pernah ikut turnamen.
Raja mengutus pengawal kerajaan untuk mengundang sang petapa ke istana. Sang raja kemudian bertanya, ‘Wahai petapa, apakah benar engkau pandai dalam bermain catur?’
Petapa menjawab, ‘Tidak, Yang Mulia. Itu hanyalah cerita orang-orang di desa. Hamba hanyalah seorang petapa dan hamba tidak pandai bermain catur.’
Melihat ekspresi sang petapa yang sangat tenang dalam menjawab, raja justru jadi penasaran, dan kemudian berkata, ‘Begini saja, aku akan memberikan apa pun yang engkau inginkan, lebih dari sekadar emas permata, asalkan engkau bisa mengalahkanku dalam pertandingan catur.’
Sang Petapa menjawab, ‘Baiklah, jika itu Yang Mulia inginkan, hamba akan bertanding catur dengan Yang Mulia. Jika hamba menang, hamba minta hadiah sejumlah beras untuk hamba bawa pulang.’
Sang raja tertawa, ‘Beras? Hanya beras saja? Baiklah, seberapa banyak yang engkau inginkan?’
‘Tidak banyak, Yang Mulia. Cukup satu butir beras untuk satu kotak catur ini, lalu jumlahnya dikalikan dua untuk kotak-kotak berikutnya, hingga ke-enam puluh empat kotak catur ini terisi beras semuanya.’
Sang raja mengernyitkan dahi, ‘Berapa butir beras? Jangan bercanda! Engkau yakin tidak menginginkan hadiah yang lain?’
Sang petapa menggeleng, ‘Hamba hanyalah seorang petapa, sejumlah beras sudah cukup memenuhi seluruh kebutuhan hamba’.
‘Kalau begitu baiklah, mari kita mulai pertandingannya’.
Dan ternyata Sang raja kalah dalam pertandingan catur tersebut.
Tanpa basa-basi, ia memerintahkan pengawal agar mengambil sekarung beras, dan ia sendiri kemudian mulai meletakkan beras tersebut di kotak-kotak catur, butir demi butir.
Pada kotak pertama ia meletakkan satu butir. Pada kotak kedua, dua butir, kotak ketiga, empat butir, kotak keempat, delapan butir….
Hingga pada kotak ke-sepuluh, sang raja harus meletakkan lebih dari lima ratus butir beras, tepatnya 512 butir, hanya dalam satu kotak.
Agar tidak tumpah, beras tersebut kemudian dipindahkan ke wadah yang sudah disiapkan, namun sang raja dibantu oleh pembantunya terus meletakkan butiran beras di kota-kotak selanjutnya…..
Dan pada kotak ke-dua puluh, sang raja terhenyak. Ia harus meletakkan lebih dari 500.000 butir beras dalam kotak tersebut, atau setara dengan kurang lebih 12,5 kilogram beras, dan terus berlipat dua di setiap kotak selanjutnya, hingga akhirnya sekarung beras disiapkan habis semuanya.
Sang raja kemudian memerintahkan pembantunya agar mengambil lagi beberapa karung beras dari gudang.
Pada kotak ketiga puluh, sang raja harus meletakkan 12,5 ton beras dalam satu kotak, dan para pembantu kerajaan tanpa henti bolak balik ke gudang untuk mengambil berkarung-karung beras.
Dan pada kotak keempat puluh, sang raja harus meletakkan 12.500 ton beras dalam satu kotak, dan alhasil tak lama kemudia seluruh stok beras di gudang istana habis seluruhnya, padahal masih terdapat belasan kotak catur lagi yang belum terisi!
Sang raja akhirnya menyadari bahwa, bahkan jika ia menyerahkan seluruh beras yang tersedia di kerajaannya dan juga yang tersedia di kerajaan-kerajaan tetangga, ia tetap tidak bisa membayar hadiah yang sudah dijanjikan kepada sang petapa.
Pada titik inilah sang petapa mengungkapkan siapa ia sesungguhnya, yang ternyata merupakan titisan Dewa Krisna.
Ia lalu mengatakan bahwa sang raja tidak pelu membayar utangnya sekaligus, melainkan bisa sedikit demi sedikit seiring dengan berjalannya waktu.
Karena itulah, di Kuil Dewa Krisna di wilayah Ambalapphuza, India, sejak abad ke lima belas hingga sekarang, secara rutin diadakan festival tahunan di mana pemerintah setempat memasak paal-payasam, yakni makanan khas yang terbuat dari olahan beras dalam jumlah besar, kemudian membagikannya secara gratis kepada seluruh peziarah yang hadir.
Posting Komentar