Seorang pimpinan perusahaan begitu bangga dengan tim IT-nya dan menganggap bahwa kemampuan teknologi informasi perusahaannya sudah sangat canggih dan mumpuni. Namun, dalam suatu seminar, pimpinan ini terkejut, karena ternyata banyak perusahaan lain mempunyai kekuatan IT yang sama, bahkan lebih canggih.
Ketika meninjau kembali manajemennya, ia baru menyadari bahwa tim IT yang merasa sudah canggih ini, ternyata tidak mempelajari sistem baru dan tidak memperbaharui pengetahuannya. Beberapa bahasa bahkan masih menggunakan versi lama. Bisakah kita bertahan bekerja dengan pengetahuan yang diperoleh lebih dari 10 tahun lalu ini? Mungkin untuk beberapa sistem yang memang sangat statis, pengetahuan old school ini masih bisa digunakan. Tetapi menjawab tantangan dan tuntutan pasar yang semakin besar, kompleks dan tak jelas, pastinya membutuhkan pengetahuan yang paling mutakhir. Bisakah kita menjaga keingintahuan, semangat belajar, pembaruan kompetensi di lingkungan perusahaan kita, sementara kita juga perlu mengejar target dan tetap berproduksi?
Di Google, 20 persen dari kegiatan perusahaan dipergunakan untuk merancang prototipe baik untuk produk baru, pembenahan interior ruang atau bahkan untuk mendesain kursi taman kantor baru. Menurut Larry Page, founder Google, “Yang penting ada unsur otak- atik dalam benak karyawan, tidak hanya desain, tetapi juga mencakup implementasi, aplikasi, dan terealisasikan secara fisik.” Kegiatan ini diperlukan untuk membuat aktivitas berpikir karyawan selalu berada dalam keadaan siaga. Tidak bisa kita menganut paham penyebaran benih, ”Let a thousand flowers bloom, and we’ll see what happens” lagi.
Saat ini kita selalu perlu berpikir dengan berbagai fokus, serta memperbaharui proses yang sedang berjalan. Bahkan, sebenarnya kita perlu menjaga “sikap oposisi” terhadap produk yang tadinya merupakan ide cemerlang kita. Tuntutan belajar dalam organisasi sudah bukan main-main. Bila tidak dijaga dan dipasarkan dengan baik di internal, kita akan menemukan karyawan yang meskipun masih muda, tetapi berpandangan “jadul”, keras kepala, dan tidak percaya pada perubahan, merasa tidak bisa dan tidak mau mempelajari sesuatu dalam proses bekerjanya. Bahkan, dalam organisasi yang secara teratur mengirimkan karyawannya ke luar negeri untuk meraih gelar S2 bahkan S3 pun, gejala kealotan pemikiran ini bisa tetap terjadi.
Belajar informal
Apakah pembelajaran memang sudah berganti rupa? Masih bisakah kita menyuntikkan kegiatan belajar dengan cara konvensional? Matthias Malessa, Chief Human Resources Officer Adidas, merasa pembelajaran di dalam kelas sudah tidak lagi berdampak signifikan. Ia mencari cara, bagaimana pembelajaran dapat menjadi “light, desirable, dan fun.” Matthias percaya, bahwa mengalami sendiri, melakukan kesalahan, adalah cara pembelajaran yang paling efektif.
Mereka percaya bahwa 80 persen pembelajaran terjadi secara informal. “Corporate University” terasa menjadi tempat belajar yang sempit untuk mengakomodasi karyawan yang ingin belajar dengan santai. Itulah sebabnya Adidas mencari cara agar belajar bisa terjadi sepanjang hari, 24/7. Bahan pembelajaran diperluas menjadi bacaan koran, video, internet, kuis-kuis, termasuk sharing untuk mengakses sumber-sumber eksternal seperti TED, Youtube, dan blog-blog. Mereka mengikuti prinsip MOOC’s (Massive Open Online Courses). Para karyawan yang dibesarkan oleh Youtube, Pinterest, dan Instagram ini perlu dirangsang pembelajarannya melalui media-media ini pula.
Agenda pembelajaran menjadi agenda setiap orang dalam organisasi, tidak terkecuali para pemimpin. Pemimpinlah yang menjadi komandan dan provokator pembelajaran. Hal ini juga dilakukan oleh sebuah perusahaan kosmetik lokal di negara kita, di mana pemilik, suami-istri, anak-mantu, semua percaya bahwa belajar bisa di mana saja, kapan saja, dari siapa saja, dan dengan media apa saja. Organisasi perlu mencari cara pembelajaran yang self driven dan sexy bagi karyawannya, menjadikan inovasi sebagai way of thinking sehari-hari di lingkungan pekerjaannya. Pemimpin yang menganggap pembelajaran adalan kegiatan pra atau pasca, ataupun di samping kegiatan utama, akan mengalami perlambatan yang signifikan di organisasinya.
Quantum Leap Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran perlu didesain secara saksama, dengan tujuan dan dashboard alias parameter pengukuran keberhasilan yang jelas. Menurut para pimpinan Adidas, “Kita paling tidak, perlu melakukan quantum leap sebanyak 10 kali lipat, dan mencetak laba 10 kali lipat lebih besar. Tidak lagi mengharapkan pertumbuhan mainstream 10 persen saja secara biasa.”
Mengapa harus demikian? Kenyataannya dengan lompatan 10 kali lipat, kita meninggalkan kompetitor. Karyawan pun menjadi lebih ambisius, dan ingin menginspirasi satu sama lain. Atmosfer seperti ini pastinya akan menarik dan individu yang suka tantangan, rajin belajar, dan gemar berpikir untuk bergabung dengan perusahaan pembelajar ini. Budaya inovasi akan terwujud nyata dalam organisasi, tidak hanya menjadi kutipan manis yang tergantung pada plakat budaya perusahaan semata. Dan di sini, pemimpin tidak memiliki pilihan lain selain berpikir “why not?”
experdcom
Posting Komentar